Yang Terbaik

by - 04.20

          Sejak aku keluar dari pondok, saat itu aku sudah dipastikan jadi pengangguran. Kenapa ? simple aja sih. Karena orang tua melarang.
          Aneh kan ? mana ada orang tua melarang anaknya kerja ? mungkin orang tuaku termasuk tipe orang over protective. Bahkan untuk ngumpul sama temen aja susahnya minta ampun.

          Saat itu aku pengen ngelamar kerja di café. Orang tua melarang dengan alesan kerjanya gak bener. Padahal cuman jadi dishwasher. Bukan jadi mas-mas ganjen minta nomer hp pengunjung.
          Sumpah. Ini bercanda. Gak serius!
          Saat aku usul jadi sopir Go-Jek. Orang tua juga ngelarang. Alesannya takut dapet penumpang psikopat yang bakal nusuk aku dari belakang. Trus ninggalin aku di tengah hutan sampai orang lain nemuin mayatku.
          Untuk yang satu ini bener.
          Bagaimanapun aku masih pengen kerja. Minimal aku bisa jalan sama beli kebutuhanku  sendiri. Tapi keputusan orang tua mutlak. Dan gabakal bisa di ganggu gugat. Walaupun aku usaha kek gimanapun gabakal bisa dah.
          Parah kan ? gatau juga sih
          Di sisi lain aku benci aja orang tua ngelarang kek gitu. Tapi bagaimanapun aku ngerti. Orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Mungkin ini yang terbaik bagi mereka untukku.
          Aku jadi inget. Waktu lulus SD, seharusnya aku langsung mondok. Itu keinginan almarhum aba waktu itu. Sayangnya aku yang gak nurut. Seakan tersihir oleh sekolah favorit di kotaku. Akhirnya aku memutuskan untuk sekolah di sana.
          Pada awalnya aku merasa senang bisa sekolah di sana. Masuk sekolah favorit, trus tempat belajar nyaman, banyak cewek cantik, fix bahagia banget bisa masuk sekolah itu.
          Oke, gak semuanya yaa!
          Semua indah di awal. Punya temen baru, suasana baru, bahkan waktu awal sekolah bisa dibilang nilai akademisku tinggi. Hampir seluruh nilai pelajaran mendapatkan nilai di atas rata-rata. Tapi apa itu yang aku dapatkan ?
          Benar nilaiku bagus. Tapi, di akhir tahun sekolah mulai timbul kebiasaan burukku. Aku sering bolos sekolah, sering pulang malam, pecandu rokok, bahkan nyaris minum miras. Bahkan aku udah gak peduli sama guru, orang tua, juga teman-temanku. Mungkin karena aku sering di-bully dan hampir gak punya temen lagi di sekolah, maka godaan untuk melakukan hal-hal tersebut terlintas di benakku.
          Karena orang tuaku sadar akan hal ini, terpaksa aku harus SMA di pondok.
          Awalnya aku gak mau. Bahkan aku sudah mendaftar ke salah satu SMA favorit di kota. Namun untuk yang satu ini aku gabisa nolak. Dengan dalil amanah almarhum aba, aku turuti permintaan tersebut.
          Pertama kali masuk pondok aku udah gak betah. Jauh dari orang tua, jauh dari teman, gak bisa bebas, penuh peraturan yang ketat, sungguh pengalaman yang menyiksaku pada awalnya. Tapi seperti itukah pondok ?
          Ini seperti kebalikan dari SMP ku. Saat aku menolak keinginan orang tuaku, aku bahagia di awalnya tetapi menderita di akhir. Namun, saat aku mondok dan mengikuti keinginan orang tua, aku menderita di awal tetapi bahagia di akhir.
          Di pondok aku punya sahabat baru. Walaupun mereka semua jauh dari kotaku bahkan jauh daari jawa, mereka tetap sahabat yang baik. Di sini aku juga belajar memperbaiki diri. Menghilangkan kebiasaan merokok, selalu hadir saat ada kelas, dan juga lebih mengenal agamaku dan Tuhanku.
          Sempat aku menyesal. Membayangkan serunya masa SMA, cerita saat SMA yang penuh kebahagiaan, Dan semua pernak pernik masa SMA. Tapi, apakah aku bakal ngedapetin hal yang serupa dengan cerita-cerita tersebut ? Akankah aku menjadi pribadi yang baik kalau aku memutuskan untuk tidak menuruti perkataan orang tuaku ?
          Kembali ke masa sekarang.
          Karena aku gak boleh kerja. Akhirnya aku menjadi shopkeeper ( biar kerenan dikit! ) toko punya kakakku. Karena tokonya kecil dan sepi, aku lebih banyak nganggur di sana. Sebenarnya aku gak nyaman. Cuman ini keinginan orang tuaku, ya aku jalanin saja.
          Belajar dari masa lalu, aku berusaha buat gak nolak keinginan orang tua. boleh kita mengutarakan keinginan kita, memberikan alasan serta pengertian kepada mereka agar mengerti. Tapi gak harus sampai membantah dan menolak secara kasar kan ?

          Terkadang apa yang kita anggap baik, ternyata berdampak buruk terhadap kita. Begitu juga sebaliknya. Right ?

You May Also Like

0 komentar

Thanks buat kalian yang udah baca. Jangan lupa komentarnya untuk memperbaiki tulisan penulis dan biar makin akrab. karena sebuah karya tanpa adanya komentar hanya menjadi karya tanpa ada kemajuan di kemudian hari,