Yang Terbaik
Sejak aku keluar dari pondok, saat itu aku sudah dipastikan
jadi pengangguran. Kenapa ? simple aja sih. Karena orang tua melarang.
Aneh kan ? mana ada orang tua melarang anaknya kerja ?
mungkin orang tuaku termasuk tipe orang over protective. Bahkan untuk ngumpul
sama temen aja susahnya minta ampun.
Saat itu aku pengen ngelamar kerja di café. Orang tua
melarang dengan alesan kerjanya gak bener. Padahal cuman jadi dishwasher. Bukan
jadi mas-mas ganjen minta nomer hp pengunjung.
Sumpah. Ini bercanda.
Gak serius!
Saat aku usul
jadi sopir Go-Jek. Orang tua juga ngelarang. Alesannya takut dapet penumpang
psikopat yang bakal nusuk aku dari belakang. Trus ninggalin aku di tengah hutan
sampai orang lain nemuin mayatku.
Untuk yang satu ini bener.
Bagaimanapun aku masih pengen kerja. Minimal aku bisa jalan
sama beli kebutuhanku sendiri. Tapi
keputusan orang tua mutlak. Dan gabakal bisa di ganggu gugat. Walaupun aku
usaha kek gimanapun gabakal bisa dah.
Parah kan ? gatau juga sih
Di sisi lain aku benci aja orang tua ngelarang kek gitu.
Tapi bagaimanapun aku ngerti. Orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya.
Mungkin ini yang terbaik bagi mereka untukku.
Aku jadi inget. Waktu lulus SD, seharusnya aku langsung
mondok. Itu keinginan almarhum aba waktu itu. Sayangnya aku yang gak nurut.
Seakan tersihir oleh sekolah favorit di kotaku. Akhirnya aku memutuskan untuk
sekolah di sana.
Pada awalnya aku merasa senang bisa sekolah di sana. Masuk
sekolah favorit, trus tempat belajar nyaman, banyak cewek cantik, fix bahagia
banget bisa masuk sekolah itu.
Oke, gak semuanya yaa!
Semua indah di
awal. Punya temen baru, suasana baru, bahkan waktu awal sekolah bisa dibilang
nilai akademisku tinggi. Hampir seluruh nilai pelajaran mendapatkan nilai di
atas rata-rata. Tapi apa itu yang aku dapatkan ?
Benar nilaiku bagus. Tapi, di akhir tahun sekolah mulai
timbul kebiasaan burukku. Aku sering bolos sekolah, sering pulang malam,
pecandu rokok, bahkan nyaris minum miras. Bahkan aku udah gak peduli sama guru,
orang tua, juga teman-temanku. Mungkin karena aku sering di-bully dan hampir
gak punya temen lagi di sekolah, maka godaan untuk melakukan hal-hal tersebut
terlintas di benakku.
Karena orang tuaku sadar akan hal ini, terpaksa aku harus
SMA di pondok.
Awalnya aku gak mau. Bahkan aku sudah mendaftar ke salah
satu SMA favorit di kota. Namun untuk yang satu ini aku gabisa nolak. Dengan
dalil amanah almarhum aba, aku turuti permintaan tersebut.
Pertama kali masuk pondok aku udah gak betah. Jauh dari
orang tua, jauh dari teman, gak bisa bebas, penuh peraturan yang ketat, sungguh
pengalaman yang menyiksaku pada awalnya. Tapi seperti itukah pondok ?
Ini seperti kebalikan dari SMP ku. Saat aku menolak
keinginan orang tuaku, aku bahagia di awalnya tetapi menderita di akhir. Namun,
saat aku mondok dan mengikuti keinginan orang tua, aku menderita di awal tetapi
bahagia di akhir.
Di pondok aku punya sahabat baru. Walaupun mereka semua
jauh dari kotaku bahkan jauh daari jawa, mereka tetap sahabat yang baik. Di
sini aku juga belajar memperbaiki diri. Menghilangkan kebiasaan merokok, selalu
hadir saat ada kelas, dan juga lebih mengenal agamaku dan Tuhanku.
Sempat aku menyesal. Membayangkan serunya masa SMA, cerita
saat SMA yang penuh kebahagiaan, Dan semua pernak pernik masa SMA. Tapi, apakah
aku bakal ngedapetin hal yang serupa dengan cerita-cerita tersebut ? Akankah
aku menjadi pribadi yang baik kalau aku memutuskan untuk tidak menuruti
perkataan orang tuaku ?
Kembali ke masa sekarang.
Karena aku gak boleh kerja. Akhirnya aku menjadi shopkeeper
( biar kerenan dikit! ) toko punya kakakku. Karena tokonya kecil dan sepi, aku
lebih banyak nganggur di sana. Sebenarnya aku gak nyaman. Cuman ini keinginan
orang tuaku, ya aku jalanin saja.
Belajar dari masa lalu, aku berusaha buat gak nolak keinginan
orang tua. boleh kita mengutarakan keinginan kita, memberikan alasan serta
pengertian kepada mereka agar mengerti. Tapi gak harus sampai membantah dan
menolak secara kasar kan ?
Terkadang apa yang kita anggap baik, ternyata berdampak
buruk terhadap kita. Begitu juga sebaliknya. Right ?

0 komentar
Thanks buat kalian yang udah baca. Jangan lupa komentarnya untuk memperbaiki tulisan penulis dan biar makin akrab. karena sebuah karya tanpa adanya komentar hanya menjadi karya tanpa ada kemajuan di kemudian hari,